Dayak Community

Dayak Community

Tabe' Art and Culture

BETUNGKAT KA ADAT BASA, BEPEGAI KA PENGATUR PEKARA

AGIK IDUP. AGEK NGELABAN

TABE' Ngau Bala Pengabang Da Ruai Kami

SANGGAR SENGALANG BURONG




Jumat, 25 September 2020

CERITA MENGAYAU VERSI IBAN MUALANG ( TUA' BADAK DAN TUA' BUNTAK )

  

TUA’  BADAK, NGAU TUA’  BUNTAK

Panglima Perang Tua’ Badak dan Tua’ Buntak

Versi  Bahasa Indonesia )

 

 



             

Hilang Kisah Timbol Cerita, Tangkap Kerama’ Jual ke Cina, Bula’ Aku, Bulak Urang Tuai.

Nyurok Nyemah Ku Nusoi Ka bala Kita’

Kisah Urang Kelia’,

Mali Mulut Salah Jako’, Jari Salah Jamah, Minta Maaf Ka Kitak.



Dayak Mualang adalah satu diantara kelompok Dayak Iban atau yang disebut sebagai Ibanic yang dimasa lalunya mengamalkan tradisi mengayau. berdasarkan cerita orang tua dimasa lalu, ada dua orang panglima perang yang terkenal di zamannya bernama Tua’ Badak dan Tua’ Buntak. (Tua’ dalam Bahasa kelompok Iban adalah gelar seorang Panglima Perang)

Satu diantara wilayah yang pernah mengukir sejarah mengayau adalah lubuk entulang, tak jauh dari daerah sungai ayak, kecamatan belitang hilir saat ini, dekat kampung entapang/entingan sungai ayak.  Di tempat tersebutlah pernah terjadi peristiwa yang selalu dikenang oleh generasi mualang sampai era tahun 1990an. Adapun peristiwa terjadi berkaitan dengan kematian bala pasukan kayau pimpinan kedua Tua’ tersebut dalam rencana ekspansi ke wilayah pengayau lainnya.

Kayau memiliki arti memenggal kepala musuh, sedangkan mengayau adalah aktivitas melakukan serangan atau perjalanan dalam rangka mencari kepala musuh dari wilayah lainnya sesuai tuntutan tradisi di masa itu, berkaitan dengan kebutuhan menjaga keseimbangan kosmologi, menyangkut ritualisme yang masih melekat pada masyarakat saat itu. Kepala manusia dipercaya menyimpan semengat / kekuatan daya rohaniah yang mengandung roh seseorang di dalamnya, dipercaya membantu pemiliknya secara magis sesuai yang diperintahkan. Misalnya menjaga pertanian, menjaga kekuatan rumah panjang dan menjaga aktivitas keamanan gaib.

Suatu ketika rombongan Tua’ Badak dan Tua’ Buntak melakukan ekspedisi (bejalai) dengan maksud turun mengayau ke daerah lainnya melewati Lubuk Entulang, kedua Tua’ tersebut membawa serta bala (orang-orang / pasukannya), melewati daerah lubuk entulang. Setelah sampai di tepian lubuk entulang, bala pasukannya membuat penyeberangan menggunakan rotan yang di ikatkan melintang menyeberangi lubuk entulang tersebut, dan rotan tersebut dimaksud sebagai pegangan untuk pasukannya menyeberang. Adapun Tua’ Badak dan Tua’ Buntak, dikarenakan kelebihannya / kesaktiannya, mereka berdua dapat dengan mudah meloncat atau melayang ke seberang, membantu mengikatkan rotan untuk pasukannya. Setelah semuanya siap maka sambil menunggu bala pasukannya menyeberang, kedua Tua” tersebut masuk menyusuri hutan sekitar seberang lubuk entulang, guna melihat jejak / bekas (bekau), tanda maupun bekas-bekas jika ada musuh yang mengintai keberadaannya. Tak terasa setelah menginti-ngintai bekas musuh, kedua Tua’ tersebut melihat pertanda ular yang lewat melintang dari kiri ke kanan memotong jalan mereka. Menurut kepercayaan tradisi masyarakat mualang saat itu ular yang melintang dari kiri kekanan merupakan pertanda tak baik bermakna akan ada halangan. Namun karena kedua Tua’ tersebut merupakan pimpinan pasukan dan telah masuk wilayah musuh maka mereka tetap mengintai jejak dan memastikan musuh tidak mengetahui arah kedatangan pasukannya menyeberang. Tak berselang lama, bekas / keberadaan musuh diketahui, arah jejaknya tampak mengarah ke lubuk entulang, melihat hal itu kedua pemimpin pasukan tersebut langsung menghadang dan menghambat pasukan musuh yang begitu ramai, dan dalam posisi yang serba salah apakah balik memberitahukan ke pasukannya atau berupaya menahan gerak laju pasukan musuh bagaikan laju air mengalir, begitulah gerak laju musuh datang menyerang. Akhirnya keputusan yang diambil adalah bertarung menahan gerak laju musuh. Kedua Tua’ dari Mualang kemudian bertarung di daerah tersebut, keduanya menagkis dan menyerang melawan musuh, demikian pula mereka melesat / meloncat kian kemari  dengan menghunus nyaburnya, menyerang leher pasukan musuh, hal ini membuat korban dipihak musuh mulai berjatuhan, sampai suatu ketika seorang panglima perang dipihak musuh maju kedepan menghadapi Tua’ Badak, sementara Tua’ Buntak melawan bala pasukan lainnya. Serangan pasukan musuh yang bertubi–tubi menyambar kearah Tua’ Badak, dan dengan gesit Tua’ Badak menahan menggunakan Terabai (perisai) dan melakukan serangan balasan. Kedua panglima ini masing-masing mempunyai keahlian dan kekuatan mengalahkan lawannya selanjutnya berhadapan dengan panglima pasukan musuh, pertarungan tersebut membuat banyak korban dari pasukan musuh demikiaan pula membuat beberapa batang kayu bertumbangan terkena kibasan nyabur, semak-semak bertumbangan ketika terjadi saling serang diantara kedua panglima perang tersebut. Namun selanjutnya dengan meloncat tinggi dan memekik kuat (nyelaing), melalui satu tebasan kuat, nyabur (pedang) Tua’ Badak berhasil mengenai rekong (tenggorokan) panglima musuh, dan sekali lagi Tua’ Badak mengibaskan Nyabornya langsung memutuskan leher dan menjatuhkan kepala panglima musuh, membuat panglima musuh tumbang terkapar.  Melihat hal tersebut, bala pasukan musuh  spontan memencar sebagian kecil lolos dan terus menyerang kearah lubuk entulang.  Dan sebagian lagi berhadapan dengan kedua panglima perang Mualang. Setelah musuh yang dihadapi oleh kedua Tua’ Mualang semakin banyak yang tewas termasuk panglima perang nya, musuh mulai terdesak dan bersama – sama kompak menyerang Tua’ Badak dan Tua’ Butak. Maka kedua Tua’ inipun dengn kemampuannya mulai bertarung menewaskan musuh musuh tersebut, setelah yang dihadapinya tewas, kedua Tua’ inipun berbalik mengejar musuh yang memecah kearah Lubuk Entulang. Untung tak dapat diraih, malang tak bisa di tolak, demikian bunyi pepatah, dan tak disangka kedua Tua’ tersebut terlambat, sebagian kecil musuh yang berhasil mencapai tepian lubuk entulang telah berhasil memutuskan rotan penyeberangan dan membunuh semua pasukan Tua’ Buntak dan Tua’ Badak, yang sedang berupaya berenang mencapai tepian lubuk. Setelah musuh berhasil membunuh pasukan Tua’ Badak dan Tua’ Buntak, musuh langsung lari menjauh dari tempat tersebut. Ketika Tua’ Badak dan Tua’ Buntak tiba di Lubuk Entulang mereka melihat bekas-bekas serangan musuh, dan mereka berdua terasa sedih bercampur geram dan dendam, berjanji akan mengadakan perhitungan masuk ke kampong musuhnya. Dengan perasaan masih diselimuti emosi merekapun memotong kepala-kepala musuh yang telah ditewaskannya dan membawa pulang kepala musuh tersebut, serta menceritakaan kronologis yang terjadi di menua mualang. Hasil dari mengayau kedua Tua’ berhasil mendapatkan dua puluh buah kepala musuh yang tewas. Selanjutnya dilain waktu kedua Tua’ melakukan acara adat guna persiapan pengayauan balasan, dan mengundang bala (pasukan) yaitu para bujang berani, dengan maksud menyerang ke kampung musuh membalas atas serangan musuh terhadap peristiwa sebelumnya di lubuk entulang. Mereka melakukan ekspedisi pembalasan mengayau dengan membawa tigapuluh orang bala yang dibagi berdasarkan tiga kelompok. Sepuluh orang menyusup kedepan melapangkan jalan serangan dari musuh yang masuk, sepuuh orang lagi membuat persiapan penyeberangan pasukan dilubuk entulang menuju keseberang dan sepuluh orang lagi sebagai pasukan pengawal. Sampai ditepian lubuk entulang ,masing-masing mengerjakan tugasnya, seperti rencana semula dan kedua Tua’ mualang tersebut menunggu diseberang. Setelah semua pasukannya berkumpul, maka mulailah mereka menyelusuri arah masuk ke wilayah musuh dan disana mereka mengadakan serangan balasan.

Tua’ Badak dan Tua’ Buntak melesat ketengah-tengah pasukan musuh diikuti bala bujang berani dari mualang mereka bertarung melawan musuh menyebabkan kehancuran yang parah di menua musuh, dan musuh banyak yang terkayau, musuh yang tak dapat melawan di tangkap sebagai ulun atau hamba di bawa ke Menua Mualang dan mereka ditempat itu mendapatkan kira-kira  50 buah kepala musuh dan mendapatkan kurang lebih 50 orang ulun (hamba / tawanan) selanjutnya kepala musuh dibawa sebagai trophy kemenangan. Adapun tawanan yang kalah perang dibawa pulang. Kemudian dalam perjalanan pulang mengayau dan mengalahkan musuh menuju pulang, pasukan Tua’ Badak dan Tua’ Buntak menemukan jejak yang baru dilewati, serta bekas pelarian musuh, untuk bersembunyi. Ketika bala Tua’ Badak dan Tua’ Buntak menyelusuri jejak musuh tersebut, maka ditemukan tempat persembunyian musuh di sebuah batang pohon yang tumbang yang berdiameter besar. Melihat hal tersebut, pasukan Tua’ Badak dan Tua’ Buntak menyebar dan mengepung tempat persembunyian tersebut, sedangkan musuh yang bersembunyi tak bisa lari kemana-mana sebab dihadang di depan dan diujung pohon. Pasukan Tua’ Badak dan Tua’ Buntak berupaya memaksa musuh keluar dari tempat persembunyiannya, namun musuh yang bersembunyi enggan untuk keluar, maka beberapa bala Tua’ Badak dan Tua’ Buntak menombak satu bagian lubang persembunyian tempat musuh masuk  dan tombakan tumbak tersebut mengenai pantat musuh yang bersembunyi, hingga mereka berteriak “Ku ka ku yak dau” (artinya aku terus, yang itu belum) hal ini jadi bahan gurauan orang-orang mualang secara turun temurun mengejek orang-orang wilayah tersebut. Selanjutnya satu persatu musuh yang ditombak mati ditarik satu persatu, beberapa dari musuh memaksakan diri melawan keluar dari persembunyian dengan sigap bala bujang berani mengibaskan nyaburnya memancung kepala musuh. Dari 10 orang musuh yang bersembunyi di dalam pohon tersebut tujuh orang mati terkena tombak dan dipancung pasukan mualang, sementara tiga orang yang masih hidup ditawan sebaga ulun (hamba/ budak) dibawa pulang ke menua mualang.

Setelah selesai peristiwa pembalasan mengayau, Tua’ Badak dan Tua’ Buntak pulang bersama bala pasukannya membawa kemenangan perang, dan membawa kepala musuh dan tawanan perang. Sampai dimenua mualang pasukan Tua’ Badak dan Tua’ Buntak disambut upacara adat ‘Ajat Temuai Datai” (menyambut pahlawan yang pulang dari pengayauan membawa kemenangan) Adapun kepala musuh disambut dengan ngajat pala’ oleh perempuan-perempuan  mualang, disambut dengan kain kebat diatas talam atau wadah dan mereka mengadakan gawai pala (perta adat kemenangan menyambut kepala hasil mengayau) Demikianlah kisah pengayauan Tua’ Badak dan Tua’ Buntak dimenua mualang, sampai sekarang lubuk entulang dikeramatkan oleh orang-orang mualang dan dipercaya angker (menyeramkan) dimasa lalunya orang sering menemukan sisa-sisa tulang yang dipercaya adalah sia-sisa pasukan Tuak Badak dan Tua’ Buntak yang meninggal ditempat itu.

 

Sumber :

1.     Alm.  Akek Sengkuang, dikisahkan tahun 1990,

2.     Alm Temenggung Paku Kerbau yang dituturkan ke generasi selanjutnya, dan beberapa sumber lain daerah Mualang.

Cerita  diskripsikan ulang Th. 2020

 

 Keterangan:


1.     Ibanic = kelompok Dayak Iban.

2.     Tua’ dalam bahasa Iban Mualang adalah : Panglima Perang.

3.     Bala = Pasukan / Orang-orang pengikut / rombongan

4.  Bujang Berani adalah para pemuda / bala yang keberaniannya dalam bertarung tak diragukan, bujang berani adalah petarung sejati dalam mengayau.

5.     Gambar orang mualang tahun 1920 ( Tropen Museum ) sebagai Ilustrasi.