TUA’ BADAK, NGAU TUA’ BUNTAK
Panglima Perang Tua’ Badak dan Tua’ Buntak
( Versi Bahasa Indonesia )
Hilang Kisah
Timbol Cerita, Tangkap Kerama’ Jual ke Cina, Bula’ Aku, Bulak Urang Tuai.
Nyurok Nyemah
Ku Nusoi Ka bala Kita’
Kisah Urang Kelia’,
Mali Mulut
Salah Jako’, Jari Salah Jamah, Minta Maaf Ka Kitak.
Dayak Mualang adalah satu
diantara kelompok Dayak Iban atau yang disebut sebagai Ibanic yang dimasa lalunya mengamalkan tradisi mengayau.
berdasarkan cerita orang tua dimasa lalu, ada dua orang panglima perang yang
terkenal di zamannya bernama Tua’ Badak
dan Tua’ Buntak. (Tua’ dalam Bahasa kelompok Iban adalah
gelar seorang Panglima Perang)
Satu diantara wilayah yang pernah
mengukir sejarah mengayau adalah lubuk entulang,
tak jauh dari daerah sungai ayak, kecamatan belitang hilir saat ini, dekat
kampung entapang/entingan sungai ayak. Di tempat tersebutlah pernah terjadi
peristiwa yang selalu dikenang oleh generasi mualang sampai era tahun 1990an.
Adapun peristiwa terjadi berkaitan dengan kematian bala pasukan kayau pimpinan
kedua Tua’ tersebut dalam rencana
ekspansi ke wilayah pengayau lainnya.
Kayau memiliki arti memenggal
kepala musuh, sedangkan mengayau adalah aktivitas melakukan serangan atau
perjalanan dalam rangka mencari kepala musuh dari wilayah lainnya sesuai
tuntutan tradisi di masa itu, berkaitan dengan kebutuhan menjaga keseimbangan
kosmologi, menyangkut ritualisme yang masih melekat pada masyarakat saat itu.
Kepala manusia dipercaya menyimpan semengat / kekuatan daya rohaniah yang
mengandung roh seseorang di dalamnya, dipercaya membantu pemiliknya secara
magis sesuai yang diperintahkan. Misalnya menjaga pertanian, menjaga kekuatan
rumah panjang dan menjaga aktivitas keamanan gaib.
Suatu ketika rombongan Tua’ Badak dan Tua’ Buntak melakukan ekspedisi (bejalai) dengan maksud turun
mengayau ke daerah lainnya melewati Lubuk
Entulang, kedua Tua’ tersebut membawa
serta bala (orang-orang / pasukannya), melewati daerah lubuk entulang. Setelah sampai di tepian lubuk entulang, bala pasukannya membuat penyeberangan menggunakan
rotan yang di ikatkan melintang menyeberangi lubuk entulang tersebut, dan rotan tersebut dimaksud sebagai
pegangan untuk pasukannya menyeberang. Adapun Tua’ Badak dan Tua’ Buntak,
dikarenakan kelebihannya / kesaktiannya, mereka berdua dapat dengan mudah
meloncat atau melayang ke seberang, membantu mengikatkan rotan untuk
pasukannya. Setelah semuanya siap maka sambil menunggu bala pasukannya
menyeberang, kedua Tua” tersebut
masuk menyusuri hutan sekitar seberang lubuk
entulang, guna melihat jejak / bekas (bekau), tanda maupun bekas-bekas jika
ada musuh yang mengintai keberadaannya. Tak terasa setelah menginti-ngintai
bekas musuh, kedua Tua’ tersebut
melihat pertanda ular yang lewat melintang dari kiri ke kanan memotong jalan
mereka. Menurut kepercayaan tradisi masyarakat mualang saat itu ular yang
melintang dari kiri kekanan merupakan pertanda tak baik bermakna akan ada
halangan. Namun karena kedua Tua’
tersebut merupakan pimpinan pasukan dan telah masuk wilayah musuh maka mereka
tetap mengintai jejak dan memastikan musuh tidak mengetahui arah kedatangan pasukannya
menyeberang. Tak berselang lama, bekas / keberadaan musuh diketahui, arah
jejaknya tampak mengarah ke lubuk
entulang, melihat hal itu kedua pemimpin pasukan tersebut langsung menghadang
dan menghambat pasukan musuh yang begitu ramai, dan dalam posisi yang serba
salah apakah balik memberitahukan ke pasukannya atau berupaya menahan gerak
laju pasukan musuh bagaikan laju air mengalir, begitulah gerak laju musuh datang
menyerang. Akhirnya keputusan yang diambil adalah bertarung menahan gerak laju
musuh. Kedua Tua’ dari Mualang kemudian
bertarung di daerah tersebut, keduanya menagkis dan menyerang melawan musuh,
demikian pula mereka melesat / meloncat kian kemari dengan menghunus nyaburnya, menyerang leher
pasukan musuh, hal ini membuat korban dipihak musuh mulai berjatuhan, sampai
suatu ketika seorang panglima perang dipihak musuh maju kedepan menghadapi Tua’
Badak, sementara Tua’ Buntak melawan bala pasukan lainnya. Serangan pasukan
musuh yang bertubi–tubi menyambar kearah Tua’
Badak, dan dengan gesit Tua’ Badak
menahan menggunakan Terabai (perisai)
dan melakukan serangan balasan. Kedua panglima ini masing-masing mempunyai keahlian
dan kekuatan mengalahkan lawannya selanjutnya berhadapan dengan panglima
pasukan musuh, pertarungan tersebut membuat banyak korban dari pasukan musuh demikiaan
pula membuat beberapa batang kayu bertumbangan terkena kibasan nyabur, semak-semak
bertumbangan ketika terjadi saling serang diantara kedua panglima perang tersebut.
Namun selanjutnya dengan meloncat tinggi dan memekik kuat (nyelaing), melalui
satu tebasan kuat, nyabur (pedang) Tua’
Badak berhasil mengenai rekong (tenggorokan)
panglima musuh, dan sekali lagi Tua’ Badak
mengibaskan Nyabornya langsung
memutuskan leher dan menjatuhkan kepala panglima musuh, membuat panglima musuh
tumbang terkapar. Melihat hal tersebut,
bala pasukan musuh spontan memencar
sebagian kecil lolos dan terus menyerang kearah lubuk entulang. Dan sebagian
lagi berhadapan dengan kedua panglima perang Mualang. Setelah musuh yang
dihadapi oleh kedua Tua’ Mualang semakin
banyak yang tewas termasuk panglima perang nya, musuh mulai terdesak dan
bersama – sama kompak menyerang Tua’ Badak dan Tua’ Butak. Maka kedua Tua’
inipun dengn kemampuannya mulai bertarung menewaskan musuh musuh tersebut,
setelah yang dihadapinya tewas, kedua Tua’ inipun berbalik mengejar musuh yang
memecah kearah Lubuk Entulang. Untung
tak dapat diraih, malang tak bisa di tolak, demikian bunyi pepatah, dan tak
disangka kedua Tua’ tersebut terlambat, sebagian kecil musuh yang berhasil
mencapai tepian lubuk entulang telah berhasil memutuskan rotan penyeberangan
dan membunuh semua pasukan Tua’ Buntak dan Tua’ Badak, yang sedang berupaya
berenang mencapai tepian lubuk. Setelah musuh berhasil membunuh pasukan Tua’
Badak dan Tua’ Buntak, musuh langsung lari menjauh dari tempat tersebut. Ketika
Tua’ Badak dan Tua’ Buntak tiba di Lubuk Entulang mereka melihat bekas-bekas
serangan musuh, dan mereka berdua terasa sedih bercampur geram dan dendam,
berjanji akan mengadakan perhitungan masuk ke kampong musuhnya. Dengan perasaan
masih diselimuti emosi merekapun memotong kepala-kepala musuh yang telah
ditewaskannya dan membawa pulang kepala musuh tersebut, serta menceritakaan
kronologis yang terjadi di menua mualang. Hasil dari mengayau kedua Tua’ berhasil mendapatkan dua puluh buah
kepala musuh yang tewas. Selanjutnya dilain waktu kedua Tua’ melakukan acara adat guna persiapan pengayauan balasan, dan
mengundang bala (pasukan) yaitu para bujang berani, dengan maksud menyerang ke kampung
musuh membalas atas serangan musuh terhadap peristiwa sebelumnya di lubuk entulang. Mereka melakukan ekspedisi
pembalasan mengayau dengan membawa tigapuluh orang bala yang dibagi berdasarkan
tiga kelompok. Sepuluh orang menyusup kedepan melapangkan jalan serangan dari
musuh yang masuk, sepuuh orang lagi membuat persiapan penyeberangan pasukan dilubuk entulang menuju keseberang dan
sepuluh orang lagi sebagai pasukan pengawal. Sampai ditepian lubuk entulang ,masing-masing
mengerjakan tugasnya, seperti rencana semula dan kedua Tua’ mualang tersebut menunggu diseberang. Setelah semua pasukannya
berkumpul, maka mulailah mereka menyelusuri arah masuk ke wilayah musuh dan
disana mereka mengadakan serangan balasan.
Tua’
Badak dan Tua’ Buntak
melesat ketengah-tengah pasukan musuh diikuti bala bujang berani dari mualang
mereka bertarung melawan musuh menyebabkan kehancuran yang parah di menua
musuh, dan musuh banyak yang terkayau, musuh yang tak dapat melawan di tangkap
sebagai ulun atau hamba di bawa ke Menua
Mualang dan mereka ditempat itu mendapatkan kira-kira 50 buah kepala musuh dan mendapatkan kurang
lebih 50 orang ulun (hamba / tawanan) selanjutnya kepala musuh dibawa sebagai
trophy kemenangan. Adapun tawanan yang kalah perang dibawa pulang. Kemudian
dalam perjalanan pulang mengayau dan mengalahkan musuh menuju pulang, pasukan Tua’ Badak dan Tua’ Buntak menemukan jejak yang baru dilewati, serta bekas
pelarian musuh, untuk bersembunyi. Ketika bala Tua’ Badak dan Tua’ Buntak
menyelusuri jejak musuh tersebut, maka ditemukan tempat persembunyian musuh di sebuah
batang pohon yang tumbang yang berdiameter besar. Melihat hal tersebut, pasukan
Tua’ Badak dan Tua’ Buntak menyebar dan mengepung tempat persembunyian tersebut,
sedangkan musuh yang bersembunyi tak bisa lari kemana-mana sebab dihadang di depan
dan diujung pohon. Pasukan Tua’ Badak
dan Tua’ Buntak berupaya memaksa musuh
keluar dari tempat persembunyiannya, namun musuh yang bersembunyi enggan untuk
keluar, maka beberapa bala Tua’ Badak
dan Tua’ Buntak menombak satu bagian
lubang persembunyian tempat musuh masuk dan tombakan tumbak tersebut mengenai pantat
musuh yang bersembunyi, hingga mereka berteriak “Ku ka ku yak dau” (artinya aku terus, yang itu belum) hal ini jadi
bahan gurauan orang-orang mualang secara turun temurun mengejek orang-orang
wilayah tersebut. Selanjutnya satu persatu musuh yang ditombak mati ditarik
satu persatu, beberapa dari musuh memaksakan diri melawan keluar dari
persembunyian dengan sigap bala bujang berani mengibaskan nyaburnya memancung
kepala musuh. Dari 10 orang musuh yang bersembunyi di dalam pohon tersebut
tujuh orang mati terkena tombak dan dipancung pasukan mualang, sementara tiga
orang yang masih hidup ditawan sebaga ulun
(hamba/ budak) dibawa pulang ke menua mualang.
Setelah selesai peristiwa
pembalasan mengayau, Tua’ Badak dan Tua’ Buntak pulang bersama bala
pasukannya membawa kemenangan perang, dan membawa kepala musuh dan tawanan
perang. Sampai dimenua mualang pasukan Tua’
Badak dan Tua’ Buntak disambut
upacara adat ‘Ajat Temuai Datai”
(menyambut pahlawan yang pulang dari pengayauan
membawa kemenangan) Adapun kepala musuh disambut dengan ngajat pala’ oleh perempuan-perempuan mualang, disambut dengan kain kebat diatas talam
atau wadah dan mereka mengadakan gawai
pala (perta adat kemenangan menyambut kepala hasil mengayau) Demikianlah kisah pengayauan Tua’ Badak dan Tua’ Buntak
dimenua mualang, sampai sekarang lubuk entulang dikeramatkan oleh
orang-orang mualang dan dipercaya
angker (menyeramkan) dimasa lalunya orang sering menemukan sisa-sisa tulang
yang dipercaya adalah sia-sisa pasukan Tuak
Badak dan Tua’ Buntak yang
meninggal ditempat itu.
Sumber :
1. Alm. Akek Sengkuang, dikisahkan tahun 1990,
2. Alm Temenggung Paku Kerbau yang dituturkan ke generasi selanjutnya, dan
beberapa sumber lain daerah Mualang.
Cerita
diskripsikan ulang Th.
2020
1.
Ibanic
= kelompok Dayak Iban.
2. Tua’ dalam bahasa Iban Mualang adalah : Panglima Perang.
3. Bala = Pasukan /
Orang-orang pengikut / rombongan
4. Bujang Berani adalah para pemuda / bala yang keberaniannya dalam bertarung
tak diragukan, bujang berani adalah petarung sejati dalam mengayau.
5. Gambar orang mualang tahun 1920 ( Tropen Museum ) sebagai
Ilustrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar